Identity Management in Cyberspace


Identity Management in Cyberspace:
1.       Level of Dissociation and Integration
2.       Positive and Negative Valence
3.       Level of Reality and Fantasy
4.       Tha Media Chosen
5.       Level of Conscious Awareness and Control

LEVEL OF CONSCIOUS AWARENESS AND CONTROL
Secara umum istilah identitas sering kali diasosiasikan dengan “jati diri” manusia. Identitas dalam hal ini menyangkut aspek-aspek yang melingkupi eksistensi seseorang atau lebih dalam lagi mempresentasikan dirinya secara utuh. Menurut pandangan psikologi sosial, Gunawan Wiradi, identitas adalah kesadaran seseorang akan dirinya sendiri sebagai suatu makhluk unik yang berbeda dari orang lain.
Sebagai bagian dari perkembangan TI yang luar biasa pesat, kehadiran internet beserta berbagai situs atau konten yang ada di dalamnya telah melahirkan perubahan perilaku orang per orang. Identitas dalam ranah ini merupakan hasil kontruksi (Michael & Pohl, 2001). Tidak heran muncul anggapan bahwa identitas ini belum tentu merepresentasikan sosok yang sebenarnya. Seperti dikatakan Piliang (2004), perkembangan teknologi cyberspace telah melahirkan berbagai perubahan dan setidaknya terdapat tiga tingkat pengaruh, yaitu individual (personal), antar-individual (interpersonal) dan masyarakat (social).
Pertama, pada tingkat individu, cyberspace telah menciptakan perubahan mendasar terhadap pemahaman tentang identitas. Setiap individu dalam dunia virtual dapat membelah pribadinya menjadi pribadi yang tak terhingga banyaknya, sehingga terjadinya permainan identitas, identitas baru, identitas palsu, identitas ganda, yang bisa saja sama atau berbeda dengan identitas sosial di dunia nyata. Dengan memasang foto dirinya yang sudah diedit maka dengan mudah orang yang bersangkutan membangun konstruksi baru tentang dirinya yang berbeda dengan kehidupan di dunia nyata.
Kedua, pada tingkat interaksi sosial, kehadiran cyberspace telah melahirkan semacam deteritorialisasi sosial, artinya interaksi sosial tidak dilakukan di dalam suatu ruang teritorial yang nyata, tetapi di dalam suatu halusinasi teritorial: seseorang bisa saja terasa sangat akrab dan intim dengan orang lain di dunia maya yang ada di belahan dunia lain tanpa pernah sekalipun ketemu, ketimbang saudara kandung atau tetangganya sendiri. Hal ini mungkin saja karena orang tersebut menujukkan sifat yang berbeda dari dunia nyata agar kehadirannya tersebut dapat diterima.
Ketiga, pada tingkat komunitas, kehadiran cyberspace dapat menciptakan satu model komunitas demokratik dan terbuka yang disebut Rheingold dengan istilah “komunitas imajiner” (imaginary community). Pada tingkat ini pun interaksi online yang terjadi umumnya yaitu ketidakjelasan, karena disana tidak banyak petunjuk atau tanda yang bisa dijadikan acuan untuk memahami identitas sosial seseorang, sehingga memberikan ruang untuk bermain dengan identitas orang.
Identitas di dunia maya internet memang merupakan hal yang tidak mudah dijelaskan. David Holmes (1997) menggunakan istilah virtual reality untuk menjelaskan identitas yang tercipta atau diciptakan di dunia maya internet. Berbeda dengan Dorian Wiszniewski dan Richard Coyne yang menggunakan istilah Online Identity yang mengarah pada penjelasan bahwa identitas yang ditampilkan sebagai topeng (mask). Sebuah akun yang dibuat di dunia maya internet merupakan topeng yang diciptakan untuk hidup dalam sebuah kelompok, atau jejaring sosial maya internet. Identitas di dunia maya internet begitu cair, dapat berupa bentuk gender, agama, lokasi maupun asal-usul. Representasi dan keberadaannya dapat berubah-ubah sepanjang waktu dan dalam waktu yang singkat. Seseorang juga dapat memilih beberapa identitas. Misal, ia dapat memiliki beberapa identitas akun yang berbeda dalam satu waktu.
Penampilan diri ini pada dasarnya dibentuk untuk memenuhi keinginan audiensi atau lingkungan sosial, bukan berasal dari diri dan bukan pula diciptakan oleh individu itu sendiri. Sehingga identitas yang muncul yakni penggambaran apa yang sebenarnya menjadi keinginan guna memenuhi kebutuhan pengakuan sosial; meski dalam banyak hal ekspektasi yang datang dari lingkungan sosial atau ‘established social role’ sering kali berlawanan dengan kehendak pribadi.
Dalam konteks budaya siber, konsep Goffman dikembangkan oleh Andrew Wood dan Matthew Smith (2005: 52-57) yang membahas bagaimana identitas itu berlaku di Internet. Wood dan Smith menyatakan bahwa identitas secara sosial terkait dengan bagaimana anggapan kita mengharapkan pandangan atau stigma orang lain terhadap kita dan bagaimana orang lain itu mempersepsikannya. Bahkan penggambaran diri (self performance) merupakan upaya individu untuk menkonstruk dirinya – dalam konteks online melalui foto atau tulisan – sehingga lingkungan sosial mau menerima keberadaan dan memiliki persepsi yang sama dengan individu ini.
Di internet pada dasarnya komunikasi dan/atau interaksi yang terjadi memakai medium teks, secara langsung hal ini akan memengaruhi bagaimana seseorang mengomunikasikan identitas dirinya di kehidupan virtual (virtual life) dan setiap teks menjadi semacam perwakilan dari setiap ikon diri dalam penampilan diri. Selain itu, internet pun menawarkan fasilitas untuk menyembunyikan beberapa petunjuk atau karakteristik tertentu yang tidak ingin ditampilkan dan diketahui publik. Inilah yang dalam konsep Goffman mengumpamakan suatu panggung drama dimana ruang pertunjukkan itu selalu ada tempat apa yang dikatakan sebagai ‘front stage’ (panggung depan) dan ‘back stage’ (panggung belakang). Di panggung belakanglah setiap pemain menyembunyikan atau memiliki identitas diri yang disebut ‘personality identity’ atau identitas personal, sementara yang ditampilkan di atas panggung yakni identitas sosial atau ‘social identity’ (Goffman, 1968: 29; Tom Burns, 1992: 88-89). Identitas ini terkadang sengaja dibangun oleh individu. Melihat fenomena ini, manajemen kesan atau impression management dikembangkan Goffman untuk menggambarkan bahwa dalam penampilan diri sering kali individu ketika menjalani perannya di tengah masyarakat melakukan sesuatu untuk menampilkan kesan tergantung dari, apa yang disebut Goffman sebagai, “setting” atau “audiences” bahwa ketika individu melakukan manajemen kesan, maka individu itu akan berlaku secara sadar maupun tidak menampilkan citra yang diinginkannya dan berharap orang lain akan terkesan dengan apa yang telah dilakukan itu (Goffman, 1959/1990:2). Contoh, pada situs mencari jodoh atau pasangan hidup yang terdapat di situs-situs online. Setiap akun anggota situs mencari jodoh selalu ada deskripsi pemiliknya, dan tentu saja deskripsi tentang pemilik itu dipenuhi dengan sosok yang ideal seperti ramah, penyayang, tidak suka marah dan rajin ibadah. Tak ketinggalan, foto terbaik pun ikut dipasang – tentu saja foto itu sebelumnya dipilih da nada yang diolah terlebih dahulu melalui perangkat lunak pengolah foto seperti Photoshop.
Sementara menurut Tim Jordan (1999:60), ada dua kondisi yang bisa menggambarkan bagaimana keberadaan individu dan konsekuensi dalam berinteraksi di internet, yaitu: (1) untuk melakukan konektivitas di cyberspace setiap orang harus melakukan logging in atau melakukan prosedur tertentu – seperti menulis username dan password – untuk membuka akses e-mail, situs jaringan sosial, atau laman web lainnya. Ketika prosedur ini dilalui, maka individu akan mendapatkan semacam “ruang pribadi”, atau yang biasa disebut dengan akun (account); (2) memasuki dunia virtual kadang kala juga melibatkan keterbukaan dalam identitas diri sekaligus juga mengarahkan bagaimana individu itu mengidentifikasikan atau mengkonstruk diri di dunia virtual. Setiap individu di media siber juga memiliki kemampuan tanpa batas untuk mengkreasikan siapa dirinya di dunia virtual, dan hasil kreasi itulah yang nanti akan mewakili individu dalam memainkan peran serta berinteraksi di internet. Pilihan untuk membuka identitas secara jujur dengan pilihan untuk membuat identitas palsu merupakan pilihan yang bisa diambil.

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
DAFTAR PUSTAKA
Sugiharti, Rahma. 2014. Perkembangan masyarakat informasi & teori sosial kontemporer. Jakarta: Kencana Prenadamedia Group
Pratama, Bayu Indra. 2017. Etnografi dunia maya internet. Malang: UB Press
Hadi, Astar. 2005. Matinya dunia cyberspace. Yogyakarta: LKiS
Nasrullah, Rulli. 2014. Teori dan riset media siber (cybermedia). Jakarta: Prenadamedia Group


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Rakyat, Legenda, dan Mitos

Perubahan Bumi Akibat Pemanasan Global